Antara Empati SBY dan Ronald Reagan

Antara Empati SBY dan Ronald Reagan
[imagetag]
INILAH.COM, Jakarta - Tiga puluh enam tahun lalu, Maret 1986, Presiden AS Ronald Reagan tengah berada di Bali, bertemu pemimpin ASEAN. Dua di antaranya Soeharto (Presiden RI) dan Ferdinand Marcos (Presiden Filipina), dua pemimpin penting di Asia Tenggara yang merupakan sekutu utama AS di Asia dalam memerangi penyebaran ideologi komunis pada era Perang Dingin.

Belum lagi agenda pertemuan Ronald Reagan dengan Soeharto dan Marcos rampung, mendadak pejabat pers Gedung Putih yang saat itu berada di Bali, mengumumkan sebuah keputusan yang mengejutkan. Bahwa Ronald Reagan harus mempersingkat kunjungannya di Bali. Alasannya, bekas bintang film Holywood yang melesat menjadi Presiden AS itu harus segera berada di Washington.

Tidak ada rincian lagi apa yang menjadi pemicu dari perubahan agenda itu. Yang disebutkan hanyalah, sebuah pusat pembangkit listrik tenaga nuklir di Chernobyl, Uni Sovyet mengalami kebocoran. Beberapa ledakan kecil sedang terjadi dan dikuatirkan akan disusul dengan beberapa kebocoran yang serius.

Walaupun alasan dipersingkatnya kunjungan itu diberikan secara transparan, tetapi tidak semua orang paham. Termasuk pejabat-pejabat tinggi RI dan para wartawan senior Indonesia yang biasa berkecimpung dalam peliputan masalah diplomasi dan politik internasional.

Para pejabat tinggi RI dan wartawan Indonesia, membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa memahami, mengapa sebuah kebocoran kecil di salah satu pusat nuklir sebuah negara yang terletak ribuan kilometer dari wilayah AS, bisa mempengaruhi agenda seorang pemimpin AS yang sedang melakukan pertemua di Bali, Indonesia.

Ternyata, keberadaan Presiden Reagan di Washington sesegara mungkin, dari perspektif keamanan AS, tidak bisa dielakkan. Walaupun Ronald Reagan seorang Presiden, tetapi bawahannya bisa mengatur atau menyetirnya.

Seorang Presiden dari sebuah negara demokrasi, tetap tunduk pada kepentingan bangsa yang lebih besar. Selaku Presiden, Reagan satu-satunya warga AS yang memiliki otoritas tertinggi untuk membuka katup pengaman semua senjata nuklir yang ada di wilayah AS.

Otoritas keamanan di AS ketika itu, memiliki kecurigaan yang cukup tinggi kepada Uni Sovyet. Para intelejen AS curiga, Uni Sovyet sebagai negara komunis yang merupakan salah satu musuh utamanya di dunia di era Perang Dingin ketika itu, mau mengelabuinya.

Kebocoran nuklir di Chernobyl mau dijadikan alasan, bahwa para ahli nuklir di Uni Sovyet sedang teledor. Yang diantisipasi AS adalah keteledoran ini memang disengaja. Bakal disusul dengan kecelakaan-kecelakaan serupa terutama di pusat senjata nuklir.

Akibat kecelakaan itu, sejumlah hulu nuklir Uni Sovyet yang memang dalam keadaan siaga, bisa melesat ke seluruh kota-kota strategis di AS, kemudian menghancurkan negara adi daya itu.

Jika itu yang terjadi, AS harus membalas. Tentu saja dengan senjata nuklir. Tetapi untuk menggunakan senjata nuklir, harus atas sepengetahuan presiden. Bahkan yang berhak membuka semua kunci pengaman hanya pada presiden. Ronald Reagan ketika itu memiliki otoritas tertinggi dan kekuasaan tunggal untuk melesatkan senjata-senjata nuklir AS . Sehingga tidak ada cara lain, Presiden AS harus segera berada di dalam negeri.

Dengan demikian persoalan Indonesia, Filipina, ASEAN dan perang terhadap komunisme, turun ke urutan yang tidak terlalu penting. Yang terpenting, kepentingan dalam negeri, kepentingan seluruh warga AS, kepentingan nasional tetap berada di atas segala-galanya.

Alasan yang diberikan AS sebetulnya cukup transparan. Kendati begitu pada era itu tidak banyak yang paham. Khususnya apa kaitan antara persoalan nuklir di Uni Sovyet dengan masalah keamanan dalam negeri di Amerika Serikat.

Kekuatan senjata nuklir Uni Sovyet pada saat itu, belum pecah menjadi Rusia, diyakini AS berada di kota-kota tertentu dari seluruh wilayahnya yang membentang dari kawasan Eropa hingga ke Asia dan tepian Pasifik.

Hampir serupa dengan peristiwa itu, keputusan Presiden Rusia, Dmitry Medvedev. Presiden Rusia ini, sudah komit kepada Presiden SBY bahwa ia akan hadir di KTT Asia Timur Bali, November 2011, bersama 17 Kepala Negara lainnya. Tapi menjelang pembukaan KTT Bali, Moskow mengumumkan bahwa Presiden Medvedev tidak bisa hadir karena sibuk menghadapi pemilihan umum di negaranya.

Yang menarik adalah Pemilu Rusia sebetulnya baru digelar Februari 2012. Tetapi tiga bulan sebelum itu, Medvedev lebih memilih berada di dalam negeri. Sekalipun agenda KTT Bali sudah diumumkan setahun sebelumnya, tetapi bagi Presiden Rusia, membatalkan komitmen itu, tidak masalah. Lebih baik Presiden RI yang tersinggung dari pada ratusan juta rakyat Rusia.

Padahal sekalipun Medvedev tetap berada di Moskow, mematau penyelenggaraan pemilu, posisi kepresidenannya tak akan bisa dia pertahankan. Jabatan kepresidenannya mulai Februari 2012, akan tetap ia lepas kepada Vladimir Putin.

Sehingga disini terlihat, faktor nasionalismenya yang memprioritaskan urusan bangsa dan negaranya, berada di atas segala-galanya. Perjalanan ke luar negeri menjadi tidak penting.

Kisah lainnya datang dari Singapura. Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong pada menit-menit terakhir KTT ASEAN di Jakarta, Mei 2011, membatalkan kehadirannya. Dengan alasan, pada waktu yang bersamaan negaranya menggelar pemilu.

Ketidakhadiran putera pendiri Singapura itu, memang tidak mengganggu jadwal KTT. Tetapi setidaknya menunjukkan bagi pemimpin Singapura, persoalan dalam negeri jauh lebih penting dibanding dengan solidaritas terhadap rekan-rekan pemimpin di ASEAN.

Tiga ceritera ini sengaja diangkat untuk membuka wacana bahwa gaya kepemimpinan Presiden SBY, ternyata berbeda jauh dengan pemimpin negara-negara yang disebutkan di atas. Presiden SBY tentu punya alasan sendiri mengapa pekan ini dia harus berkunjung ke China dan Korea Selatan.

Namun Presiden SBY perlu diingatkan, aktivitasnya menghadiri berbagai pertemuan internasional di saat dalam negeri sedang menghadapi banyak masalah, terus dicatat sebagai bukti tentang kekurang peduliannya terhadap persoalan yang dihadapi rakyat.Kelak kesalahannya sebagai pemimpin, bakal tak bisa dimaafkan oleh rakyat. Presiden SBY perlu disadarkan, kelak dia akan menjadi rakyat biasa.

Protes tentang rencana pemerintah menaikkan harga BBM, tidak bisa dilihat dengan mata telanjang dan sesederhana sebuah protes. Protes itu harus dipahami bahwa sebetulnya cukup banyak rakyat yang merasa tidak dipedulikan oleh para pemimpinnya.

Boleh jadi protes tidak akan berkepanjangan apabila para pemrotes tahu, SBY berada di Cikeas atau Istana sehingga mendengar langsung protes itu dari rakyatnya. Bukan melalui staff atau laporan ABS (Asal Bapak Senang).

SBY patut dilapori, harga BBM belum dinaikkan namun harga beras murah yang biasa dibeli warga miskin tiba-tiba melonjak menjadi Rp. 7.500,-. Di pinggir ibukota RI, rakyat antri di kios-kios beras dengan jatah hanya boleh membeli tidak lebih dari 10 kg.

Di Korea, Presiden mungkin bangga duduk bersanding dengan Presiden AS Barack Obama membicarakan soal pembatasan senjata nuklir. Tetapi Presiden mungkin lupa, apalah artinya semua yang dia bahas dengan Obama, kalau jutaan rakyatnya sedang terancam kehidupan mereka akibat beban ekonomi.

Nuklir bisa mematikan manusia seketika, sementara kesulitan ekonomi mematikan manusia secara pelan tapi pasti. Sehingga penderitaan akibat ekonomi jauh lebih panjang dan menyiksa.

Oh SBY, please deh, ayo tunjukkan empatimu kepada rakyatmu bukan kepada para pemimpin dunia. [mdr]

http://nasional.inilah.com/read/deta...-ronald-reagan

Presiden ane siapa ya?? kok ane udah lupa ya __________ :ngacir:

OjekTurbo 29 Mar, 2012

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...