Amuk dan Depresi Korban Mutilasi Hidung di AS

VIVAnews -- Dunia geger saat foto gadis Afghanistan berusia 18 tahun itu terpampang di sampul majalah terkemuka TIME, 9 Agustus 2010 lalu. Orang-orang ngeri melihat hidung yang termutilasi, tinggal separuh.

Kini, Aisha Mohammadza, nama gadis itu, berani tampil dengan senyum lebar, hidungnya sudah ditambal. Kehidupannya pun jauh lebih punya harapan sejak ia tinggal di Amerika Serikat.

Namun, empat tahun paska tragedi hidupnya, perjuangannya belum selesai. Ia yang bertaruh nyawa lari dari negerinya harus melawan trauma berat dan beradaptasi dengan lingkungannya yang baru.


[imagetag]

Ini yang membuat Aisha trauma: pada usia 12 tahun, ayahnya menikahkannya dengan pejuang Taliban, untuk membayar utang. Ia lalu diserahkan ke keluarga yang menyiksanya dan memaksanya tidur di kandang bersama ternak.

Saat berniat kabur, ia tertangkap. Hidung dan telinganya dipotong oleh suaminya sendiri sebagai hukuman. "Saat ia memotong hidung dan telingaku, aku pingsan. Di kegelapan malam, aku merasa ada air dingin di hidungku," kata Aisha kala itu pada CNN. "Saat membuka mata, aku tak bisa melihat apa-apa, mataku tertutup darah."

Dengan kondisi kepayahan dan terus mengucurkan darah, Aisha melintasi pegunungan, lari ke rumah kakeknya. Ayahnya yang merasa bersalah membawanya ke fasilitas medis milik AS, di mana ia dirawat selama 10 hari. Aisha kemudian dikirim ke penampungan rahasia di Kabul pada Agustus 2010, lalu diterbangkan ke AS oleh Grossman Burn Foundation.

Sampul TIME: wanita korban mutilasi Taliban

Ia lalu mendapatkan suaka dari AS pada 2011. Aisha datang ke Negeri Paman Sam tanpa mengerti satupun kosakata Inggris, buta huruf, dan hanya bisa bercakap dengan Bahasa Pashto. Gegar budaya dan kerinduan amat sangat pada keluarganya membuatnya depresi berat.

Orang-orang yang berada di sekelilingnya mengaku suasana hati Aisha cepat sekali berubah, suatu ketika ia bisa tampak penuh kasih sayang, sebaliknya tanpa bisa diduga, ia mengamuk hebat.

Saat amarahnya menggelegak, ia tak segan-segan menyakiti dirinya sendiri, membenturkan tubuh ke lantai, memukuli kepalanya, menjambak rambut, dan menggigiti jemarinya dengan kasar.

Operasi plastik untuk mengembalikan kondisi hidungnya secara permanen pun harus ditunda, hingga emosinya dinilai cukup stabil untuk mengatasi rasa sakit dan proses operasi yang panjang.

Psikolog, Shiphra Bakhchi, yang menangani kondisi stres paska trauma Aisha meyakini, mutilasi telinga dan hidungnya meninggalkan luka amat dalam di hati perempuan malang itu, ketimbang pada fisiknya. "Aku berharap suatu saat ia akan menjadi sosok perempuan muda yang mampu mengatasi trauma beratnya," kata dia, kepada CNN.

Sementara, salah satu pendampingnya, Esther Hyneman mengatakan, saat pertama datang ke AS, emosi Aisha hancur lebur. Saat mengamuk, tak ada yang bisa mencegah Aisha menyakiti dirinya sendiri. Saking tak berdayanya, petugas 911 dihubungi untuk dimintai bantuan.

Kondisi Aisha baru membaik saat ia tinggal bersama Mati Arsla dan Jami Rasouli-Arsala, di Maryland mulai Desember 2011.

Ia menjadi lebih tenang dan menjadi pribadi yang berbeda. "Kami gembira, ia di tempat yang tepat untuk perkembangannya, jujur kami merindukannya," kata Hyneman.

Untuk pemulihan fisik Aisha, Dr Peter H Grossman mengatakan, mereka berharap bisa memberikan 'solusi permanen'. Itu berarti rekonstruksi hidung dan telinga Aisha menggunakan jaringan tulang rawan dari bagian lain dari tubuhnya. Bukan sekedar menambal sementara. (Daily Mail) (eh)

http://dunia.vivanews.com/news/read/...i-hidung-di-as


untunglah kini wajahnya bisa kembali normal,
namun kenangan pahit membuat trauma
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...