Biaya Politik Indonesia Mahal & Sulit Dikendalikan. Pilkada bisa Rp10-Rp 30M/Calon

Biaya Politik Indonesia Mahal & Sulit Dikendalikan
Selasa, 8 Mei 2012 | 19:25 WIB

INILAH.COM, Denpasar - Biaya politik untuk berbagai perhelatan demokrasi di Indonesia sangat mahal dan semakin sulit dikendalikan. Hal ini disampaikan Wakil Ketua MPR RI Lukman Hakim Saifudin usai membuka seminar nasional empat pilar kehidupan bernegara di Hotel Sanur Paradise, Denpasar.

"MPR saat ini sedang menyerap aspirasi masyarakat di berbagai daerah di Indonesia tentang bagaiamana biaya politik yang mahal itu bisa ditekan sekecil mungkin," tegas Lukman, Selasa (8/5/2012). Pengendalian biaya politik tersebut, menurut Lukman bisa dilakukan dengan cara mengubah sistem yang ada atau mengubah peraturan dan perundang-undangan yang ada.

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri memperlihatkan, jika biaya pilkada sangat mahal. Untuk Pilkada di kabupaten dan kota saja minimal biaya yang disiapkan sebanyak Rp10 miliar. Sedangkan untuk provinsi minimal Rp30 miliar. Uang tersebut merupakan uang pribadi sang calon kepala daerah. Jumlah tersebut baru sebatas jumlah minimal yang kelihatan secara kasatmata.

Belum lagi jumlah uang yang dihitung dari beberapa material lainnya. Selain itu, KPUD juga harus mengambil uang dari APBD untuk berbagai kegiatan Pilkada dan sebagainya. Jumlah dana yang dikeluarkan saat Pilkada tidak sebanding dengan apa yang diterima dari sang calon kepala daerah ketika ia sudah terpilih.

Dari hasil survei itu juga memperlihatkan bahwa dari 525 kepala daerah di Indonesia, 33 persennya tersandung kasus korupsi. Ada 173 orang kepala daerah yang tersandung kasus korupsi dan menjalani proses hukum yang ada. Lukman menyampaikan bahwa dengan kondisi seperti itu ia bertanya apakah masih mempertahankan sistem yang ada atau mengubahnya, karena menurutnya semuanya masih ada banyak alternatif yang bisa diterapkan dalam Pilkada.

Bagi Lukman tidak perlu ada kesamaan dalam Pilkada di berbagai daerah di Indonesia. Bagi masyarakat yang sudah memiliki kesadaran politik yang tinggi, maka sistem yang ada bisa saja diterapkan, tetapi sebaliknya jika potensi politik uang masih ada, maka sistemnya sebaiknya diganti.
http://nasional.inilah.com/read/deta...t-dikendalikan

--------------------

Semenjak zaman Reformasi yang menerapkan Pilpres dan Pilkada dengan model pemilihan langsung, efek buruk yang muncul dari model seperti saat itu adalah munculnya praktek 'money politics' yang sangat busuk. Kalau praktek buruk seperti itu terus-teruskan, maka bisa diprediksi di masa depan, hanya Capres atau Cabup dan Cagub yang kaya raya saja yang bisa ikut dalam setiap Pilpres. Dan bisa diduga pula bahwa bila ybs datang dari keluarga yang pas-pasan, maka kalau toh dia bisa ikut bertanding di Pilpres/Pilkada itu, akan banyak sekali "sponsor dana" yang mengelilingi calon ybs. Sehingga bila dia terpilih, kemerdekaannya sebagai Pejabat Negara sebenarnya sudah tergadaikan kepada "donatur'nya itu. Bayangakan kemudian kalau "sponsor"nya itu datang dari negara atau korporat asing yang ada di negeri ini, apa kelak kira-kira tuntutan balas budi yang mereka harapkan dari sang Presiden? Ini jelas praktek ketata-negaraan yang sangat buruk dan tidak sehat (worst democracy).

Begitu pula dengan metode pemilihan langsung untuk Pilpres atau Pilkada itu. Apa yang kita praktekkan saat ini, sesunguhnya bukanlah model pemilihan langsung ala Amerika atau Barat. Tapi yang kita pakai saat ini, sesungguhnya adalah metode yang di adopsi dari sebuah model yang sudah lama dipraktekkan di pedesaan Jawa yaitu model pemilihan Kepala Desa di setiap kali penduduknya memilih Lurah mereka. Praktek pemilihan Lurah di Jawa seperti itu sampai saat ini masih terus berlangsung. Dan, siapapun yang pernah tinggal di Jawa atau telah pernah meneliti praktek demokrasi ala Jawa itu dalam pemilihan Lurah, terutama di desa-desa di Jawa Tengah dan Jawa Timur itu, sarat dengan praktek 'money politics' dan perjudian (taruhan) dan sogok menyogok. Dan praktek seperti itu hingga hari ini masih tetap berjalan di wilayah itu.

Nah, seharusnya kita yang hidup pada masa kini, berfikir jauh dan bertanya dalam diri masing-masing, mengapa para "founding father" NKRI di masa lalu itu, tidak mengadopsi saja secara langsung model "demokrasi" pemilihan langsung ala desa-desa di jawa itu? Jelaslah mereka bukannya tidak tahu dan tidak paham akan praktek demokrasi seperti itu di negerinya sendiri. Para 'foundhing father' itu telah mengetahui bahwa model pemilihan Lurah yang selama zaman Belanda justru dipelihara dan dibina oleh Pemerintah penjajahan Belanda, tentu ada alasan kuat sehingga pemerintah penjajah tetap mempertahankannya. Dan tidak menggantinya dengan model demokrasi ala Eropa yang saat itu mulai tumbuh dan berkembang pula di negerinya?

Kemungkinan paling masuk akal, model demokrasi ala pedesaan jawa itu dinilai pemerintah kolonial Belanda waktu itu bisa tetap menjamin terpeliharanya sistem kekuasaan kolonial yang akan berkolaborasi dengan Lurah-lurah itu. Model hubungan antara Pemerintah kolonial Belanda dengan para Lurah-lurah di jawa itu saling menguntungkan, dimana para Lurah itu dijadikan kaki tangan Pemerintah kolonial untuk menarik pajak dari penduduknya dan hasil bumi yang wajib setor ke pemerintah kolonial waktu itu. Para Lurah itu mendapat bagian cukup besar dari praktek seperti itu, dan agar hubungan mereka tetap baik, biasanya sang Lurah rajin memberikan "upeti" secara rutin kepada pejabat-pejabat pemerintah kolonial yang memang korup itu. Pola hubungan yang saling menguntungkan antara Lurah-lurah di jawa itu dengan Pemerintahan Kolonial Belanda, pernah di filmkan dengan baik di tahun 1970-an dalam sebuah film berjudul "Tuan Tanah Kedawung" yang mengambil setting di daerah Lebak-Banten.

Fenomena seperti itu tentu saja menjadi catatan tersendiri bagi para 'foundhing father" itu. Mereka sepertinya menyadari sekali, kalau sistem politik atau model demokrasi yang dituangkan dalam UUD NKRI yang akan mereka bentuk pada waktu itu, langsung meng"copy-paste" demokrasi pemilihan langsung model di pedesaan jawa tadi, akan banyak menemukan masalah kelak di kemudian hari. Intinya, model itu lebih banyak mudhoratnya ketimbang manfaatnya. Makanya meskipun model pemilhan langsung di pedesaan jawa itu merupakan model demokrasi yang dipakai oleh mayoritas rakyat Indonesia pada masa itu dan sebelum-sebelumnya, mereka menolak menggunakannya. Yang mereka pilih kemudian adalah model musyawarah mufakat melalu permusyawaratan dan perwakilan, seperti yang tercantum dalam UUD 1945 mengenai kedudukan dan kewenangan MPR, DPR dan Presiden.

Dengan dasar pemikiran diatas, mengembalikan mekanisme demokrasi Indonesia seperti yang tertuang dalam UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945, adalah sebuah tawaran yang sangat rasional. Tujuan untuk merubah UUD 1945 amandemen saat ini untuk dikembalikan ke naskah aslinya seperti UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945 itu, samasekali tak dilandasi kepentingan politik sesaat. Kembalikan mekanisme pemilihan itu ke MPR atau DPRD se tempat seperti zaman ORBA dulu lagi.

Selammurtad 09 May, 2012

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...