Diluar Pulau Jawa (NKRI semu???)

Berita kemarin tentang "Kalimantan yang mengancam jawa" mengingatkanku akan artikel dibawah ini

DILUAR PULAU JAWA



Kesenjangan dan ketidak adilan pemerintah Indonesia dalam mengembangkan daerah dan pulau-pulau diluar jawa atau jauh dari jawa telah menimbulkan berbagai masalah. Kerusuhna atau penembakan pihak sipil terhadap aparat militer atau polisi atau bahkan dalam eskalasi yang lebih besar adalah gerakan separatism bermula dari perencanaan pembangunan atau rumusan rencana pembangunan yang selalu mengkonsentraikan pada wilayah pulau jawa. Wilayah di luar jawa diabaikan, merea hanya kebagian mensuplai dana pembangunan di Jakarta dan kota-kkoa lainnya di jawa.



Lagi-lagi ini adalah sebuah ironi dari pembangunan di Negara Republik Indonesia. Kecemburuan sosial yang dirasakan oleh penduduk di luar jawa ketika menyaksikan berita atau tayangan lainnya di televisi nasional benar-benar membuat hati mereka tercabik-cabik. Hal tersebut juga diperparah dengan anggapan orang-orang yang tinggal di pulau jawa ketika bertemu dengan rekannya yang berasal dari pulau luar jawa dimana orang yang tinggal di pulau jawa akan menganggap bahwa Sumatra,Papua, Sulawesi, Lampung. adalah pulau yang dipenuhi dengan hutan, jalanan yang sempit dan pendidikan yang tertinggal serta akses informasi yang minim, ditambah lagi dengan pembangunan ekonomi yang tertinggal. Jika mereka berasal dari pulai yang besar belum lagi ketika mereka berasal dari pulau kecil yang jarang disebut, misal pulau Weh, tulo, atau Trumon, hanya akan semain membuat minder saja karena dianggap seolah tidak ada di Peta Indonesia.



Kembali kepada permasalahan yang terjadi di Papua, khususnya kekerasan yang dilakukan oleh aparat militer. Saya meyakini bahwa turunnya beberapa aparat militer di lapangan bukanlah kemauan personil para anggota militert tersebut tetapi pasti, 100% beradasarkan komando dari aparat militer yang ada di atasnya. Militer juga merupaka perangkat atau alat Negara yang siap digunakan oleh pemerintah untuk tujuan-tujuan yang disesuaikan dengan keinginan Negara.

Seorang aparat militer atau kepolisian tidak akan bertindak jika tidak ada komando dari atasannya. Tindakan berupa peengejaran, penangkapan hingga penembakan harus berdasarkan prosedur baku yang sudah direncanakan dan ditetapkan. Jadi tidak sembarangan menembak atau menangkap. Lalu bagaimana dengan operasi militer??? Jelas operasi militer adalah sebuah agenda besar atau hajatan besar bagi kepentingan Negara. Gerak dan langkah aparat militer bukan hanya dibawah komando atasannya saja (militer) tetapi sudah merupakan langkah politik pemerintah pusat. Tidak mungkin seorang presiden tidak mengetahui jika militer sedang melakukan operasi militer di suatu wilayah terrtentu (konflik).



Lalu bagaimana dengan operasi militer yang terjadi di Papua Barat?? Saya meyakini operasi militer tidak akan pernah terjadi jika pemerintah menetapkan pembangunan jangka panjang , menengah dan pendek pada wilayah yang memang tidak berkembang atau belum dikembangkan secara optimal (dalam hal ini Papua). Seandainya saja pemerintah menggelontorkan dana lebih besar untuk pembangunan di wilayah diluar pulau jawa maka tidak ada gerakan separatism, seandainya saja pemerintah membangun fasilitas pendidika yang sama megah dan komplitnya dengan sekolah-sekolah yang ada di Jakarta, seandainya saja jalanan di wilayah pedalaman pulau diluar pulau jawa bisa dibangun dengan baik, lapangan pekerjaan dibuka lebar, guru semakin banyak dikirim ke sana, perguruan tinggi marak dibangun, kesehatan dan kehidupan social disetarakan dengan yang ada di pulau jawa….Saya yakin gerakan separatism tidak akan muncul begitu pula dengan operasi militer.



Susilo Bambang Yudhoyono pada awal masa jabatannya pada periode pertama pernah menyampaikan akan menyelesaikan masalah Papua secara "mendasar, menyeluruh, dan bermartabat". Niat SBY itu, terasa kian menjauh setelah periode ke-dua SBY menjabat sebagai orang nomor 1 di Indonesia, jika kita menyimak apa yang kini terjadi di Papua, khususnya mengenai pemberlakuan Status Dearah Operasi Militer (DOM) atau Kebijakan Bumi Hangus di Distrik Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya – Papua, yang dibuat melalui kesepakatan antara Pemerintah Kabupaten Puncak Jaya, Pangdam XVII Trikora dan Polda Papua pada bulan Mei 2010. Dalam kesepakatan antara Pemda Puncak Jaya, Pangdan XVII/Trikora dan Polda Papua meminta agar semua warga massa rakyat setempat dan pemimpin gereja, termasuk perempuan, pemuda, anak-anak, pemimpin tradisional dan kepala desa segera keluar dari wilayah Distrik Tingginambut paling lambat antara 27 – 28 Juni 2010. Hal ini membuktikan semakin fasis-nya rezim dan menunjukan watak klas penguasa hari ini yang anti-Rakyat dan selalu bersembunyi di balik slogan Demokrasi dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM).



Menurut Leksi Degei Kordinator Solideritas Untuk Papua, belaiu mengatakan tanggal terakhir bagi pengosongan wilayah Distrik Tingginambut adalah 28 Juni 2010, karena setelah tanggal tersebut Kabupaten Puncak Jaya akan menjadi Daerah Operasi Militer (DOM) di mana alat reaksioner negara (TNI dan Polr) akan melakukan operasi sapu bersih/sweeping di desa-desa, hutan dan bahkan gua. Pengumuman yang dikeluarkan ini sangat keras yang dilakukan oleh alat reaksioner negara (TNI dan Polri) menyatakan bahwa setelah 28 Juni 2010, setiap orang yang masih berada di daerah tersebut akan tewas dalam sebuah "Kebijakan Bumi Hangus". Alat reaksioner negara (TNI dan Polri) akan mengambil tindakan brutal. Mereka tidak akan memperhatikan Hak Asasi Manusia (HAM) dan akan membunuh tanpa pandang bulu. Sebagai bukti dari fakta ini, bahkan sebelum operasi ini dimulai, dua bulan sebelumnya, tepatnya pada hari Rabu 17 Maret 2010, Pdt. Kindeman Gire ditembak mati oleh TNI dari kesatuan 756 di Distrik Ilu. Kindeman adalah seorang Gembala Sidang Gereja GIDI Toragi Distrik Tingginambut. Korban atas nama Pdt. Kindeman Gire ditembak dengan senjata 2 kali, sejak tanggal ditembak itulah sampai hari ini belum ditemukan jasat korban. Kecurigaan besar keluarga korban adalah kemungkinan TNI memultilasi (memotong-motong) tubuh korban kemudian dimasukan kedalam karung lalu membuangnya di Sungai Tinggin atau di Sungai Yamo bahkan mungkin di sungai Guragi ataukah mungkin mereka kuburkan. Selain itu Gereja GIDI di Yogorini, Pilia, Yarmukum telah dibakar habis oleh alat reaksioner negara (TNI dan Polri). Gereja GIDI di Yarmukum adalah sebuah gereja yang baru dibangun dengan kapasitas 500 tempat duduk, yang belum resmi dibuka


Namun sayang seribu sayang, pemerintah dan anggota DPR lebih suka menghabiskan uang Negara untuk membayar pengawal yang banyak ketika berkunjung ke daerah, lebih suka menghamburkan dana Negara untuk mempelajari etika dalam parlemen di negeri seberangn yang begitu jauh, seolah merek telah kehabisan akal bagaimana caranya menghemat dana Negara dan tidak mengetahui jika wilayah di luar pulau jawa sedang membutuhkan pembangunan dari berbagai sisi.

--------------------------------------------------------------------------

Semoga artikel diatas dapat menampar kesadaran kita bahwa sebenarnya bukan hanya kalimantan saja yang diambil SDAnya untuk membangun pulau jawa tapi juga papua dan lain-lain

Ada anekdot dari salah seorang yg berasal dari Nanggroe Aceh darussalam, begini katanya : Apa bedanya Aceh dengan Jakarta? jawabanya adalah di Aceh banyak sungai gak ada jembatan sedangkan di jakarta banyak jembatan gak ada sungai...


:iloveindonesias :iloveindonesias :iloveindonesias :iloveindonesias
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...