Polisi Jangan Pilih Kasih

Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dan Sekretaris Jenderal Edhie Baskoro Yudhoyono atau yang akrab disapa Ibas, yang merupakan putra bungsu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), diadang massa di Bandara Babullah, Ternate, Kamis (24/5). Anas maupun Ibas terpaksa batal mengunjungi Ternate. Namun, ada pengurus DPP PD yang sempat terkena pukulan massa.

Kedatangan Anas dan Ibas ke Ternate itu untuk menghadiri Musyawarah Daerah (Musda) II DPD Malut. Karena insiden tersebut, akhirnya kedua petinggi PD tersebut bersama rombongan terbang ke Manado dan Gorontalo untuk menghadiri acara PD lainnya. Sementara Musda di Malut ditunda. Sorenya, Ibas langsung mengeluarkan pernyataan yang menyesalkan insiden pengadangan sejumlah orang terhadap rombongan DPD PD di Bandara Ternate.

"Peristiwa yang mengarah ke anarki ini tidak bisa ditoleransi dalam etika berorganisasi," ujar Ibas di Manado. Ia menambahkan, DPP PD akan menginvestigasi insiden tersebut.

Tak lama setelah insiden terjadi, polisi langsung bertindak cepat. Kapolri Jenderal Polisi Timur Pradopo menegaskan kalau terbukti ada pelanggaran hukum, polisi akan menindak tegas. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto juga ikut menyayangkan aksi kekerasan tersebut.

"Kalau orang ngancam-ngancam itu kan tidak boleh. Kalau Anda diperlakukan seperti itu bagaimana," kata Djoko di Istana Presiden. Ia menambahkan, aksi kekerasan apa pun penyebabnya tidak dibenarkan di Indonesia yang merupakan negara demokrasi. Demokrasi memberikan kebebasan untuk berbicara maupun berdebat. "Kekerasan itu kan tidak menyelesaikan masalah," ujarnya.

Sehari selang insiden terjadi, polisi langsung memeriksa 13 orang, salah satunya ditetapkan sebagai tersangka kasus pemukulan terhadap rombongan pengurus DPP PD. Menurut Kadiv Humas Polri Irjen Saud Usman Nasution di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (25/5), satu orang lainnya yang diduga pelaku masih dalam pencarian. Bahkan tak tertutup kemungkinan jumlah tersangka bisa bertambah.

Pembiaran

Begitu cepatnya polisi memproses kasus pemukulan terhadap rombongan pengurus DPP PD yang juga nyaris membuat putra bungsu Presiden SBY sebagai korbannya lantas menimbulkan pertanyaan. Mengapa polisi bisa bertindak begitu cepat sementara kekerasan terhadap kebebasan beragama yang dilakukan ormas atau kelompok masyarakat tertentu terkesan dibiarkan?

Hanya seminggu sebelum insiden di Ternate itu, tepatnya Kamis, 17 Mei, bertepatan dengan perayaan Hari Kenaikan Isa Almasih, jemaat HKBP Filadelfia di Bekasi dikepung sekitar 600-an orang. Mereka melarang jemaat beribadah dengan alasan tidak memiliki izin. Massa bahkan sempat melempari jemaat dengan batu dan mengancam membunuh Pendeta Palti Panjaitan.

Polisi sudah berada di lokasi kejadian, namun tidak mampu mencegah massa beringas. Ini bukan kekerasan pertama yang dialami jemaat HKBP Filadelfia. Seminggu sebelumnya, saat kebaktian berlangsung, ada ormas yang melempari tanah dan merusak sepeda motor milik jemaat HKBP Filadelfia.

Tindak kekerasan yang dialami jemaat HKBP Filadelfia sudah berlangsung lama, sejak dua tahun lalu. Gereja mereka disegel pemda setempat karena menganggap izin pembangunan gereja tidak sah. Padahal Mahkamah Agung sudah memutuskan sebaliknya.

Tidak hanya jemaat HKBP Filadelfia, aksi kekerasan terhadap kebebasan beragama sudah marak terjadi selama empat tahun terakhir. Salah satunya aksi kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah di berbagai daerah di Indonesia, termasuk pelarangan beribadah terhadap jemaat GKI Taman Yasmin di Bogor.

Hasil penelitian The Wahid Institute mengenai pelanggaran kebebasan beragama selama 2011 mencapai 92 kasus atau naik 18 persen dibandingkan tahun 2010 yang tercatat 64 kasus.

Pelanggaran terbesar dalam kasus kebebasan beragama adalah pembatasan atau pelarangan kegiatan keagamaan atau ibadah kelompok tertentu dengan 49 kasus (48 persen).

Pelanggaran lainnya adalah tindakan intimidasi atau ancaman kekerasan oleh aparat negara sebanyak 20 kasus (20 persen), pembiaran atas kasus kekerasan sebanyak 11 kasus (11 persen), sembilan kasus (9 persen) kekerasan dan pemaksaan keyakinan, penyegelan dan pelarangan rumah ibadah sebanyak sembilan kasus (9 persen), dan kriminalisasi atau viktimisasi keyakinan empat kasus (4 persen).

Dari segi lokasi, Provinsi Jawa Barat merupakan daerah dengan angka kasus pelanggaran kebebasan beragama tertinggi, yaitu 55 kasus (58 persen). Berikutnya, Provinsi Banten dengan sembilan kasus (10 persen), Provinsi Aceh lima kasus, serta Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, serta Sulawesi Selatan masing-masing empat kasus.

Maraknya tindak kekerasan terhadap kebebasan beragama tentu sangat disesalkan karena kebebasan menjalankan agama atau keyakinan sudah dijamin dalam konstitusi. Tindak kekerasan adalah perbuatan pidana yang diatur dalam Pasal 170 KUHP, yang berbunyi, "Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan."

Presiden SBY dalam beberapa kesempatan menegaskan komitmen pemerintah untuk menegakkan supremasi hukum dan bahwa semua orang setara di muka hukum.

"Prinsip supremasi hukum menegaskan bahwa hukum berdiri di atas semua lembaga dan warga negara, dan hanya kepada hukum sajalah semua pihak tunduk kepadanya. Akhirnya, kesetaraan di depan hukum menegaskan bahwa semua warga negara, tanpa kecuali, memiliki kewajiban yang sama di depan hukum. Semua ini berarti bahwa menegakkan hukum dan keadilan adalah mandat konstitusional yang menjadi prioritas pemerintah," kata Presiden SBY dalam pidato kenegaraan di sidang bersama DPR-DPD di Jakarta, tahun lalu.

Namun, setiap kali terjadi kekerasan terhadap kebebasan beragama, polisi seakan tak berdaya, bahkan membiarkan. Maka tak heran jika banyak aktivis ataupun lembaga lintas agama dan HAM yang menuding negara abstain dalam kasus kekerasan terhadap kebebasan beragama.

Sesungguhnya tak susah menindak pelaku pelanggaran macam ini, asalkan ada kemauan. Negara dalam hal ini polisi sebagai ujung tombak penegakan hukum tidak boleh pilih kasih dan harus berani menindak siapa pun yang melakukan kekerasan, tanpa pandang bulu. Siapa pun yang menjadi korban kekerasan harus mendapat perlindungan hukum.
(Sinar Harapan)

http://www.shnews.co/detile-2400-pol...lih-kasih.html

ya seharusnya memang begitu tidak pilih kasih
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...