Menyoal Negara Gagal Versi Media

Menyoal Negara Gagal Versi Media
Opini: Derek Manangka

Quote:

Menyoal Negara Gagal Versi Media

[imagetag]


Quote:

Peringkat Indonesia dalam daftar Negara-Negara Gagal di dunia dilaporkan makin memburuk, dibanding periode sebelumnya. Kendati begitu andaikata kabar buruk itu tidak dijadikan sebagai berita utama (head line) oleh media cetak nasional berpengaruh di Indonesia, boleh jadi status Indonesia itu tidak akan menjadi sebuah isu menghebohkan.

Menurut The Fund for Peace, peringkat Indonesia sesuai hasil survei lembaga nirlaba ini, turun dari 64 ke 68 di antara 178 negara di dunia. Yang membikin heboh, adanya penyebutan bahwa kondisi Indonesia sedang menuju ke zone berbahaya.

Tetapi yang menjadi kontroversil, pada saat yang bersamaan, Indonesia masih menjadi anggota Kelompok 20. Kelompok ini merupakan perkumpulan dari 20 negara terkemuka di dunia di mana rekor perekonomian mereka tergolong baik.

Dalam Kelompok 20 itu, ikut bergabung 7 negara industri terkemuka di dunia. Kelompok 20 itu juga sedang mengadakan pertemuan bisnis di Meksiko pada saat data The Fund For Peace itu didisiminasikan. Ketika data pemeringkatan itu dikeluarkan, Indonesia bersama 19 negara lainnya sedang membicarakan bagaimana menyelamatkan Yunani dan kemungkinan Eropa dari krisis keuangan.

Tetapi faktor lain yang menambah kehebohan itu adalah suasana psikologis di Indonesia. Ketika data itu dirilis, Presiden SBY dan Ibu Negara yang baru sembuh dari sakit, sedang berkunjung ke negara-negara Amerika Latin. Kunjungan itu banyak dilihat sebagai perjalanan yang tidak produktif.

Sehingga LSM internasional menemukan momentum bahwa perjalanan SBY ke negara-negara Amerika Latin seakan sebagai bukti adanya ketidak pedulian seorang pemimpin atas persoalan yang dihadapi negaranya. Substansi ini kemudian dimangsa oleh media.

Pekan lalu, sebetulnya cukup banyak berita tentang Indonesia yang kalau diukur dengan parameter keadaan stabil, maka berita-berita tersebut cukup menarik ditonjolkan. Misalnya yang berkaitan dengan korupsi ataupun lemahnya penegakan hukum.

Tetapi sebuah media nasional malah memilih pemeringkatan negara-negara gagal di dunia sebagai isu utama. Kelihatannya pemilihan topik itu bukan tanpa maksud. Melainkan sejalan dengan sikap media tersebut yang belakangan ini, liputannya cenderung semakin berseberagan dengan Presiden SBY.

Media tersebut seakan menunjukan kepada masyarakat dan tentu saja SBY bahwa di bawah pemerintahan SBY-lah keterpurukan Indonesia semakin menjadi-jadi. Data LSM internasional dijadikan sebagai catelan isu.

Berita di media cetak ini keesokan harinya diangkat oleh salah satu TV nasional dan diulas lagi dalam bedah editorialnya. Semenjak itu selama kurang lebih satu minggu terakhir, status Indonesia sebagai Negara Gagal menjadi topik perdebatan tersendiri dari berbagai kalangan.

Apa yang dilakukan oleh dua media itu merupakan hal yang wajar. Aksentuasi mereka saja yang berbeda. Jika yang satu dengan pendekatan yang lunak tetapi tetap memperlihatkan kepekaannya yang tinggi terhadap kehidupan bernegara di Indonesia sementara yang satu lagi terkesan lebih straight to the point.

Rilis indeks negara gagal dari The Fund for Peace itu memang dimanfaatkan media untuk menambah bobot kritikannya terhadap pemerintahan SBY. Hanya saja memang ada hal yang kurang akurat yang dilakukan kedua media tersebut.

Yaitu keduanya nampak sekali sudah dipengaruhi oleh data mentah The Fund for Peace. Data itu dilepas ke publik tanpa adanya semacam catatan pengingat. Sehingga seakan-akan data tersebut sudah sangat terpercaya.

Yang menambah kelemahan laporan itu adalah dengan pernyataan implisit bahwa saat ini Indonesia sudah berstatus sebagai sebuah Negara Gagal! Padahal jika kita lakukan pengamatan, kondisi Indonesia tidaklah separah dengan negara-negara gagal yang ada di benua hitam Afrika.

Paling tidak Indonesia belum menjadi sebuah negara tandus dengan penduduknya yang kering kerontang. Seharusnya sebagai negara gagal, di Indonesia saat ini sudah tidak ada lagi konglomerasi media besar dengan beragam usaha pendukungnya dan ditopang anak-anak usahanya seperti yang dialami kedua media tersebut.

Bahkan beberapa tokoh dari media tersebut ikut mewarnai berbagai kebijakan pemerintah sepanjang sejarah bangsa ini. Baik itu menjadi menteri, politisi, anggota DPR hingga duta besar. Dengan paparan di atas pantaskah kedua media ini menempatkan Indonesia sebagai sebuah Negara Gagal?

Indonesia memang belum bisa bangkit dari keterpurukan akibat krisis multi dimensi yang dimulai pertengahan 1997. Jumlah rakyat miskin masih berada dalam kisaran 30 jutaan orang. Tetapi fakta itu saja tidak bisa dijadikan alasan untuk menempatkan Indonesia dalam status sebagai negara gagal.

Yang tepat dan pantas bagi penggambaran Indonesia adalah adanya rezim atau pemerintahan yang gagal. Adanya gaya hidup para pemimpin yang dapat menyeret Indonesia menuju ke status sebuah negara gagal. Jadi kegagalan pemimpin dan sebuah rezim tidak berarti kegagalan sebuah negara. Rezim dan negara berbeda.

Berangkat dari pengalaman ini, sudah waktunya pengelola dan pelaku media lebih kritis terhadap bentuk informasi apapun yang dikemas media-media asing. Menghadapi arus globalisasi informasi kita tidak harus apriori seperti LSM internasional yang memberi label negara gagal kepada Indonesia.

Sebab pelabelan itu terkadang hanya untuk memadamkan semangat perjuangan untuk menjadi sebuah negara kuat dan makmur. Pelabelan itu bentuk lain dari penjajahan mental.

Media dan wartawannya pun harus punya tanggung jawab untuk membela Indonesia dari serangan asing. Kita perlu meniru nasionalisme pers Amerika Serikat. Hal-hal yang sifatnya aib dan melemahkan kekuatan bangsa, mereka sensor sedemikian rupa.

Ketika 52 diplomat Amerika Serikat yang disandera mahasiswa Iran di Kedubes AS, Teheran, dilepas melalui bantuan Aljazair, sekembali para bekas sandera itu ke Amerka Serikat, pers setempat bungkam. Tak satupun ceritera yang muncul di media pasca-pelepasan itu.

Padahal kisah penyanderaan selama 444 hari dan berakhir 20 Januari 1981 itu sangat menarik dari segi kemanusiaan. Tapi berhubung pers negeri Paman Sam tak mau negaranya disebut sebagai negara yang gagal dalam memberi perlindungan kepada diplomatnya, maka persnya dengan penuh kesadaran lebih memilih diam.
http://nasional.inilah.com/read/detail/1876661/menyoal-negara-gagal-versi-media

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...