Pengadilan Jalanan

[imagetag]
Dapatkah pihak keluarga korban yang tewas, akibat dihakimi massa, menuntut massa yang melakukan main hakim sendiri?



Main hakim sendiri memang fenomena yang sering kita temui di masyarakat Indonesia akhir-akhir ini. Di pasar-pasar, terminal dan di tempat-tempat lainnya kerap diberitakan seorang pencopet, jambret atau perampok, luka-luka karena dihakimi massa, dan tragisnya tidak sedikit yang kehilangan nyawa akibat amukan massa yang melakukan pengeroyokan. Sedihnya lagi, aparat keamanan sering tidak dapat melakukan upaya pencegahan ketika main hakim sendiri dilakukan oleh masyarakat. Alasannya, jika bukan karena kurang personel, juga karena terlambat datang ke tempat kejadian.


Terlepas dari apakah korban tersebut dihakimi massa karena dia melakukan suatu tindak pidana, menurut pendapat saya, pada prinsipnya, berdasarkan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana ("KUHP"), pelaku main hakim sendiri dapat dituntut secara pidana. Dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP, disebutkan bahwa:

"Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah."


Dalam hal ini, mengingat si korban kehilangan nyawa akibat pengeroyokan tersebut, dalam Pasal 351 ayat (3) KUHP diatur bahwa:

"Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun."


Sehingga apabila kita mengacu pada Pasal 351 ayat (3) KUHP yang mengatur lebih spesifik tentang penganiayaan yang menyebabkan matinya korban, jelas disebutkan bahwa pelaku pengeroyokan dikenakan ancaman pidana penjara maksimal 7 (tujuh) tahun.


Namun perlu pula Anda ketahui, bahwa pengusutan kasus penganiayaan yang dilakukan oleh orang banyak (main hakim sendiri) sering kali menemui kebuntuan, mengingat bahwa pelaku penganiayaan tidak hanya satu atau dua orang. Prinsip hukum pidana yaitu, siapa yang berbuat dia yang bertanggung jawab. Tetapi karena melibatkan orang banyak, sehingga susah sekali menentukan siapa pelaku yang paling bertanggung jawab. Walaupun demikian, hal tersebut seyogianya tidak menjadi penghambat bagi keluarga korban untuk menuntut keadilan bagi si korban. Jadi, menjawab pertanyaan Anda, pihak keluarga korban DAPAT melaporkan hal ini kepada aparat Kepolisian, dan selanjutnya menyerahkan proses pengungkapan perkara tersebut sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.


Demikian pendapat dari kami, mudah-mudahan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pihak yang berkepentingan untuk mengambil tindakan dalam menyikapi permasalahan ini.

Dasar hukum: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No. 73).

Agan-agan korban amuk massa yang gak tau jalur hukumnya, ini bisa berguna. Sukses gan..

[imagetag]
Yang ky gini mah udah biasa dilihat, tapi ga bisa di-apa2-in gan, backingannya kuat
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...