Baru Sadar Dia? Mendag Tekankan Pentingnya Lindungi Industri Dalam Negeri dari WTO

Mendag tekankan pentingnya lindungi industri dalam negeri
Jumat, 13 Juli 2012 21:40 WIB

Jakarta (ANTARA News) - Menteri Perdagangan RI Gita Wirjawan menekankan pentingnya melindungi industri dalam negeri dari perdagangan yang tidak adil (unfair trade) melalui mekanisme yang sesuai dengan peraturan World Trade Organization (WTO).

Hal ini diungkapkannya Mendag, Kamis (12/7), saat menutup pelatihan Trade Remedies yang diselenggarakan di Inna Grand Bali Beach Hotel, Sanur, Bali, 10-12 Juli 2012, menurut Kementerian Perdagangan dalam siaran persnya, Jumat.

Pelatihan yang dilaksanakan atas kerja sama Kementerian Perdagangan RI dan WTO ini diberikan kepada para pegawai Kemendag yang menangani isu pengamanan perdagangan, Komite Anti Dumping Indonesia (KADI), Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, serta dunia usaha yang diwakili oleh Kamar Dagang dan Industri (KADIN).

Mendag berharap pelatihan ini dapat meningkatkan kapasitas para otoritas pemerintah Indonesia yang menangani bidang pengamanan perdagangan, sehingga berbagai tindakan dagang yang tidak adil yang dialami oleh industri dalam negeri, seperti dumping, subsidi, dapat diatasi dengan menggunakan mekanisme yang tidak melanggar ketentuan WTO.

Sementara Ketua KADI Bachrul Chairi mengingatkan pentingnya peningkatan kapasitas bagi otoritas Indonesia yang menangani kasus sengketa dagang Indonesia di pasar tujuan ekspor. "Beberapa produk kita terkena Bea Masuk Anti Dumping, Bea Masuk Tindakan Pengamanan karena alasan safeguard, di beberapa negara tujuan ekspor. Dalam hal ini, kita juga harus dapat mengamankan pasar ekspor kita dari kebijakan yang diskriminatif."

Kementerian Perdagangan sangat menyambut baik pelatihan yang di fasilitasi oleh WTO agar dapat memastikan bahwa instrumen perdagangan yang berlaku dapat digunakan sesuai dengan peraturan WTO, dan dapat berguna bagi pelaku usaha di dalam negeri. Pemerintah berharap, dan akan senantiasa mengupayakan, agar berbagai pelatihan serupa dapat terus diselenggarakan sehingga seluruh pihak terkait dan pelaku usaha dapat memahami aturan main yang berlaku di perdagangan internasional dan pada akhirnya dapat mewujudkan kemampuan penanganan Trade Remedies secara berkelanjutan.
http://www.antaranews.com/berita/321...i-dalam-negeri

Ini berita jadul, jauh sebelum Gita jadi Mendag RI ...
Quote:

Perundingan WTO, Rugikan Negara Berkembang
Selasa, 29 Juli 2008

JAKARTA (Suara Karya): Pertemuan terbatas tingkat menteri Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Jenewa yang seharusnya berlangsung 21-25 Juli 2008, namun mulur hingga 30 Juli 2008, berlangsung mengecewakan.
Bahkan pembahasan cenderung merugikan kepentingan petani kecil Indonesia, sehingga pemerintah harus menolak kesepakatan WTO yang merugikan kepentingan nasional. "Pertemuan sendiri mulur hingga 30 Juli 2008. Saya berpendapat proses negosiasi kurang transparan. Terutama ketika dibentuk kelompok perunding dengan jumlah terbatas 7 negara (G-7) yang hanya beranggotakan AS, Uni Eropa, India, Brazil, Jepang, Australia, dan China," kata Ketua Advocacy Center for Indonesian Farmers (ACIF) Dr Sutrisno Iwantono, di Jakarta, Senin.

Menurut dia, Indonesia dan negara berkembang lain, tidak termasuk dalam kelompok G-7. Dalam hal ini, Indonesia jelas-jelas kehilangan kesempatan untuk memperjuangkan kepentingan nasional. "Jika hanya mendengarkan pendapat 7 negara tersebut sebagai bahan untuk perundingan berikutnya, maka tentu akan sangat kehilangan arah," ujarnya. Untuk itu, lanjut Iwantono, delegasi perunding Indonesia harus menyampaikan protes keras dan meminta agar proses perundingan lebih transparan. Selain itu juga mengikutsertakan seluruh unsur dan mengutamakan pendekatan dari bawah, sehingga tidak didikte negara maju.

Selanjutnya, Indonesia yang juga menjadi juru bicara kelompok G-33 (negara-negara berkembang) harus memaksimalkan posisinya. "Kita sangat berkepentingan agar special products (SP/produk khusus) dan special safeguard mechanism (SSM/mekanisme perlindungan) terakomodasi dalam draf modalitas perundingan sektor pertanian," ucapnya. Iwantono lantas menjelaskan, bagi Indonesia, SP dan SSM merupakan kepentingan mendasar, karena terkait perlindungan terhadap produk-produk yang menyangkut hajat hidup petani. Ini juga menyangkut kelangsungan hidup masyarakat di perdesaan yang sangat rentan dengan kemiskinan.

Oleh karena itu, kesepakatan di WTO harus ditolak. Demikian juga jika tidak ada mekanisme perlindungan petani dalam bentuk SSM. Maka ketika pasar domestik dibanjiri komoditas impor, maka bentuk kesepakatan apapun tentu tidak ada manfaatnya bagi kepentingan nasional. "Putaran Doha (kesepakatan WTO sebelumnya) adalah agenda pembangunan. Oleh karena itu isu-isu mengenai pembangunan haruslah tercermin dalam perumusan draf modalitas, khususnya yang menyangkut SP dan SSM. Petani kecil di negara-negara berkembang seperti Indonesia sungguh menderita dengan distorsi dari pasar dunia yang diisi produk bersubsidi berlebihan dari negara-negara maju. Sementara mereka memaksakan liberalisasi pasar di negara-negara sedang berkembang. Jadi adalah sangat tidak adil apabila petani kecil dengan kepemilikan luas lahan rata-rata 0,3 hektare harus bertarung di negara sendiri dengan produk impor hasil pertanian korporasi, bahkan Trans National Corporations dari negara maju yang disubsidi. Hasil akhirnya adalah kemiskinan dan ketertinggalan kaum tani kita," tuturnya.

Jadi, sejalan dengan perlunya memperjuangkan SP dan SSM, Indonesia juga harus meminta penurunan subsidi pertanian di negara-negara maju. Selain itu juga mendorong peniadaan berbagai kebijakan perdagangan yang merugikan negara berkembang, seperti kebijakan kredit ekspor, bantuan pangan, dan subsidi ekspor.
Sementara itu, Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Erwin Aksa mengatakan, berbagai negara di dunia, termasuk negara maju, sektor pertanian masih mendapat perlindungan. Dalam hal ini, Indonesia tidak bisa membuka pasar produk pertaniannya, karena berdampak pada kehidupan petani nasional yang merupakan sebagian besar masyarakat di Indonesia. "Pertanian tetap perlu perlindungan. Kita tidak bisa membuka impor seenaknya. Ketahanan sektor pertanian terkait dengan ketahanan pangan kita. Jangan sampai kita jadi tergantung dengan impor. Jepang dan China juga melakukan proteksi.

Di WTO, yang ada hanya ego negara maju yang membidik Indonesia dan negara berkembang karena punya pasar yang cukup besar. Jadi kalau perundingan WTO merugikan Indonesia, maka harus ditolak dan kita tetap menjaga sektor pertanian dan UMKM. Menurut Erwin, selama ini negara maju memberikan proteksi pertaniannya dan melakukan praktik dumping (harga ekspor lebih murah dari dalam negeri) secara terselubung. "Mereka (negara maju) memberikan kredit ekspor untuk negara yang mau menampung hasil pertaniannya. Jadi tidak mungkin petani kita bersaing denagn petani negara maju yang disubsidi pemerintahnya. Jadi harus ada proteksi pasar dengan melakukan pembatasan impor," tuturnya. http://bisnis.lintas.me/go/suarakary..._Berkembang/1/
-------------

Anak S1 yang kuliah di Fakultas Ekonomi yang menempuh mata kuliah 'Ekonomi Internasional' dan 'Politik ekonomi', umumnya sudah memperoleh materi itu ... kok aneh, seakan-akan kesannya orang di kementerian perdagangan baru tahu sekarang? Atau pura-pura tak tahu atau tak mau tahu selama ini, kalau berbagai barang impor dari China telah menghancurkan UMKM negeri kita. Dan AS serta Eropa, tetap menolak beberapa produk kita seperti minyak sawit, garmen dan kretek dengan alasan yang absurd. Kok selama ini meneng wae? Pada kemana aje tuh!
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...