Dengan perolehan suara sekitar 11 persen di putaran pertama Pilgub DKI, PKS kini jadi incaran. Dua pasang calon yang bertarung di putaran dua, Joko Widodo-Basuki Tjahja Purnama dan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli tentu akan berebut untuk bisa menggandeng PKS di putaran dua nanti.
Lalu, ke mana baiknya PKS berlabuh? Pakar psikologi politik UI Prof Hamdi Muluk menyarakan agar PKS lebih mengedepankan harapan perubahan dalam mengusung koalisi. Kalau perubahan, tentu yang harus dipilih adalah Jokowi-Ahok, sebutan untuk pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahja Purnama."Kalau PKS merapat ke Foke-Nara, PKS menjatuhkan citra sendiri. Orang akan mengira hal itu karena iming-iming uang," ujarnya, malam ini (12/7).
Hamdi paham, dari segi ideologi, PKS dan Jokowi-Ahok yang didorong PDIP dan Gerinda, berbeda jauh. Tapi, hal itu tidak bisa dijadikan asalan untuk mengalihkan dukungan PKS ke Foke-Nara."Alasan ideologi yang tidak dekat, ditambah faktor Ahok yang non muslim tidak bisa dijadikan alasan. Kalau PKS mengemukakan isu itu, justru citra PKS menjadi buruk di masyarakat. PKS akan dianggap sebagai partai yang masih mengusung isu primordialitas. Padahal, sudah jelas-jelas dukungan Jokowi-Ahok merata di semua agama, kelas sosial, suku, dan profesi," terangnya.
Hamdi mengingatkan, saat pemilihan Jokowi sebagai Walikota Solo dulu, PKS tanpa ragu memberikan dukungan. Padahal, saat itu Jokowi berpasangan dengan FX Rudi Hadiyatmo yang non muslim."Saat itu, Hidayat mau jadi jurkamnya," imbuhnya.
Menurut Hamdi, PKS akan dapat untung banyak kalau mau gabung dengan Jokowi. Citra partai akan terangkat. Selain itu, kemungkinan untuk menang juga sangat tinggi. Soalnya, pendukung dari pasangan independent yang tersingkir, hampir pasti akan beralih ke Jokowi-Ahok.
"Mendukung Jokowi-Ahok yang pluralis paling tidak akan membantu image PKS yang memang pernah mencoba menjadi partai yang inklusif. Ini jelas berdampak pada pemilu 2014," jelasnya.Tapi kalau bergabung dengan Foke-Nara, PKS hanya akan dapat keuntungan dari mahar yang diperoleh.
SUMBERNYA
Lalu, ke mana baiknya PKS berlabuh? Pakar psikologi politik UI Prof Hamdi Muluk menyarakan agar PKS lebih mengedepankan harapan perubahan dalam mengusung koalisi. Kalau perubahan, tentu yang harus dipilih adalah Jokowi-Ahok, sebutan untuk pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahja Purnama."Kalau PKS merapat ke Foke-Nara, PKS menjatuhkan citra sendiri. Orang akan mengira hal itu karena iming-iming uang," ujarnya, malam ini (12/7).
Hamdi paham, dari segi ideologi, PKS dan Jokowi-Ahok yang didorong PDIP dan Gerinda, berbeda jauh. Tapi, hal itu tidak bisa dijadikan asalan untuk mengalihkan dukungan PKS ke Foke-Nara."Alasan ideologi yang tidak dekat, ditambah faktor Ahok yang non muslim tidak bisa dijadikan alasan. Kalau PKS mengemukakan isu itu, justru citra PKS menjadi buruk di masyarakat. PKS akan dianggap sebagai partai yang masih mengusung isu primordialitas. Padahal, sudah jelas-jelas dukungan Jokowi-Ahok merata di semua agama, kelas sosial, suku, dan profesi," terangnya.
Hamdi mengingatkan, saat pemilihan Jokowi sebagai Walikota Solo dulu, PKS tanpa ragu memberikan dukungan. Padahal, saat itu Jokowi berpasangan dengan FX Rudi Hadiyatmo yang non muslim."Saat itu, Hidayat mau jadi jurkamnya," imbuhnya.
Menurut Hamdi, PKS akan dapat untung banyak kalau mau gabung dengan Jokowi. Citra partai akan terangkat. Selain itu, kemungkinan untuk menang juga sangat tinggi. Soalnya, pendukung dari pasangan independent yang tersingkir, hampir pasti akan beralih ke Jokowi-Ahok.
"Mendukung Jokowi-Ahok yang pluralis paling tidak akan membantu image PKS yang memang pernah mencoba menjadi partai yang inklusif. Ini jelas berdampak pada pemilu 2014," jelasnya.Tapi kalau bergabung dengan Foke-Nara, PKS hanya akan dapat keuntungan dari mahar yang diperoleh.
SUMBERNYA
