Masih Percaya Lembaga Survei Politik? Kasus Pilkada Jakarta Membuktikan Mereka Ngawur

GOSIP PILKADA DKI: Ada Survei Nggak Dipublikasikan
Rabu, 11 Juli 2012 | 22:10 WIB

JAKARTA: Kemenangan pasangan Jokowi-Ahok (Joko Widodo - Basuki Tjahaja Purnama) dalam pemilihan kepala daerah alias pilkada DKI Jakarta pada 11 Juli atas pasangan Foke-Nara (Fauzi Bowo - Nachrowi Ramli) mengejutkan banyak pihak. Perolehan suara Jokowi-Ahok dalam hitung cepat (quick count) semua lembaga survei yang disebut-sebut lembaga survei independent, yang mencapai 43%-45%, jauh di atas perolehan suara Foke-Nara yang hanya memperoleh di kisaran 33%. Jika hasil itu kemudian menjadi hasil final, maka Jokowi akan bertanding dengan Foke dalam Pilkada putaran kedua nanti.

Hasil sementara ini --sebelum resmi diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah DKI Jakarta yang dijadwalkan pada 20 Juli nanti-- membalik survei yang diumumkan menjelang pemilihan, di mana hampir semua lembaga survei menyatakan perolehan Foke-Nara di atas 45%, jauh di atas perolehan suara Jokowi-Ahok yang masih di bawah 20%.

Informasi bisik-bisik yang diperoleh Bisnis menyebutkan, beberapa lembaga survei tidak mempublikasikan survei terbaru mereka menjelang pemilu yang sudah mengindikasikan perolehan Jokowi-Ahok melonjak dalam pekan kampanye.

Satu lembaga survei disebut-sebut mendapatkan fakta bahwa Jokowi-Ahok telah memperoleh suara 28%, namun tidak dipublikasikan. Tidak jelas apa alasan di balik keputusan tidak mempublikasikan hasil survei itu, atau mungkin terkait dengan aturan tidak boleh ada pengumuman hasil survei di hari tenang.

Yang di luar dugaan, hampir semua lembaga survei menyatakan ada suara yang belum memutuskan (undecided vote) di atas 20%, yang sama sekali tidak diperhitungkan suara itu lari ke Jokowi. "Ternyata semua lari ke Jokowi" ujar salah satu aktivitas yang paham seluk beluk survei itu.
http://www.bisnis.com/articles/gosip...dipublikasikan

Sepak Terjang Lembaga Survei di Pilkada DKI
THURSDAY, 05 JULY 2012 11:30

KBR68H - Hari-hari ini enam pasang calon DKI-1 tengah sibuk berebut simpati warga Jakarta. Mereka adalah pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli, Hendarji-Riza, Jokowi-Ahok, Hidayat-Didik J.Rachbini, Faisal-Biem dan Alex Noerdin-Nono Sampono. Sejumlah cagub bahkan tak sungkan merogoh kocek, memanfaatkan jasa lembaga survei. Salah satu tujuannya mendongkrak popularitas mereka, jelang pencoblosan suara 11 Juli mendatang. Namun, sebagian kalangan meragukan metode dan hasil jajak pendapat lembaga survei tersebut. Mengapa?

Suatu hari di bulan Juni silam. KBR68H menemui salah satu pemilik lembaga survei. Dia berambisi mendapatkan proyek survei dari salah satu pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jakarta. Lembaga survei itu sering dikontrak untuk ajang pemilu kepala daerah, presiden hingga legislatif. "Jurnalis KBR68H: Fauzi(Bowo, cagub DKI –red) pakai siapa? Fauzi pakai Syaiful Mujani, Syaiful Mujani kan tidak berani. Makanya gua bingung, Fauzi iya-iya, tidak dikontrak juga. KBR68H: Hendarji (Supandji cagub DKI –red) sudah lepas? kalau Hendarji dari awal gua lepas karena tidak benar, pas gua masuk tim sukses mereka merasa rezeki mereka hilang. Mereka takut gue sabet semua, padahal tidak ada urusannya, sekarang Hendarji menyesal dan sekarang memanggil gue, habiskan dia, matikan, sama saja gue bunuh, sudah habis duit puluhan miliar katanya mau manggil PM nyari gue, saya bilang cari aja gue di Jakarta gampang kok,"

Lelaki yang menolak menyebutkan identitasnya tersebut menuturkan sejak 10 tahun terakhir ini survei opini publik telah berkembang menjadi instrumen penting." Sejumlah kalangan telah menyebut lembaga survei sebagai pilar demokrasi kelima setelah yudikatif, eksekutif, legislatif, pers yang bebas. Bayangkan dengan survei opini publik penduduk Indonesia yang berjumlah diatas 200 juta dapat dibaca secara akurat hanya melalui sampel 1200 responden," terangnya.

Sepak-Terjang Lembaga Survey

Ada beberapa lembaga survei di Indonesia yang sering melakukan publikasi dan survei politik. Tiga diantaranya adalah Lembaga Survei Indonesia, Lingkar Survei Indonesia dan Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis). Sebagian kalangan menuding, mereka kerap menggelar survei bayaran atau pesanan. Tujuannya untuk mendongkrak popularitas kandidat capres, kepala daerah atau partai politik.

KBR68H menemui salah satu bekas pegawai lembaga survei. Sebut saja namanya Ade. Menurut pengakuannya manipulasi data sesuatu yang biasa terjadi . "Soal mark up data, setahu saya bukan mark up data, itu secara statistik perhitungan memang disahkan secara akademik dengan sample berapa mewakili berapa, satu responden itu mewakili berapa, ada rumus-rumus yang dipakai untuk menentukan sikap responden, kalau memang kita punya klien bisa jadi itu diuntungkan dengan rumus mana dia diuntungkan, ya rumus itu yang dipakai, kalau dibilang kecurangan ya mungkin di situ lembaga survei itu seperti itu," ungkapnya.

Pengamat Politik UIN Syarif Hidayatullah, Gun-Gun H - Foto milik pribadi
Lelaki ini telah bekerja kurang lebih 3 tahun di lembaga survey tersebut. Tak jarang terjadi transaksi dengan kandidat pilkada atau partai politik. Mulai dari pemilihan gubernur Sumatera Selatan hingga pilkada Bupati Banyuwangi. Menurut dia, lembaga survei saat ini lebih berorientasi pada keuntungan tanpa memikirkan efek survei bagi calon maupun masyarakat.

"Nilai jual dari hasil survei itu sebenarnya, itu dagangannya. Berapa sih bayarannya? Itu cukup besar, ada yang diajukan dari lembaga survei tempat kerja saya dulu ya misalnya untuk surveinya sendiri berapa, penyajiannya seperti apa, sampai ditangani hasil data dan dipublikasi seperti apa, sampai mungkin konferensi pers butuh biaya, semuanya. Sampai miliaran rupiah? Diatas itu bisa, Rp 1 miliar lebih lah," bebernya.

Ditemui di rumahnya di bilangan perbatasan Cikarang dan Karawang, Jawa Barat Ade membeberkan praktek-praktek bisnis lembaga survei yang dulu digelutinya.Sembari menghisap rokok, dia bercerita soal paket bisnis lembaga survei yang menelan biaya miliaran rupiah.

"Kalau misalnya kabupaten saja Rp 1 miliar lebih ya kalau propinsi bisa lebih lagi karena cakupannya lebih luas, terus ada paket juga apakah hanya survei saja, survei awal, survei awal pun biasanya kita tawarkan ada mungkin enam bulan sebelum pemilihan terus kita ukur lagi, bahasanya kita ukur lagi satu bulan sebelum pemilihan, terus kita juga menawarkan jasa quick count juga, kalau semua paket itu diambil sampai publikasi dan pencitraan biasanya itu ada paket dengan pencitraan yang kita jual," imbuh Ade.

Jual beli data juga, lazim terjadi. Data yang dijual itu terdiri dari data pemilih, data pendukung pasangan lawan hingga cetak biru strategi pemenangan lawan politik. KBR68H sempat mendokumentasikan perbincangan antara tim sukses Alex Noerdin dengan salah satu lembaga survei yang menawarkan jasanya. Alex Noerdin adalah pasangan calon Gubernur No. 6 yang diusung partai Golkar dan Partai Damai Sejahtera.

"Bos, Alex itu dipercepat, bilangin saya itu ada data pemilih per RT per TPS, ada, satu di mana potensi kita mau belanja, di mana potensi Fauzi Bowo belanja itu ada semua. Alex ini kalau mau masuk dua putaran dia harus belanja, mengerti tidak belanjanya, seperti yang tadi dan itu harus dilakukan Alex, tidak mungkin tidak. Kalau tidak dilakukan, malu Alex, habis, balik saja ke Palembang, rakyat Sumatera Selatan pun sudah antipati dengan Alex."
Bagaimana tanggapan lembaga survei atas praktik tak lazim itu?

Salah satu petinggi lembaga survei,Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia, Syaiful Mujani tidak membantah tudingan survei pilkada Jakarta ada yang disponsori oleh salah satu kandidat. Lembaganya juga ikut menangguk untung dari survey hajat politik lima tahunan ini. Meski demikian tegas Syaiful, klien atau pemesan diikat kontrak: Dilarang ikut campur dalam proses dan hasil survei.

"Salah satunya juga dari tim sukses tertentu, saya sebutkan itu dimaki-maki, wah pesanan surveinya itu, bahwa saya mendapatkan uang iya, tetapi apa yang saya lakukan itu tidak sesuai yang mereka pesankan, tidak mungkin melakukan itu dan terbukti memang begitu, jadi tidak boleh begitu, tidak boleh dalam pengertian begini bahwa kegiatan kita membutuhkan dana, pasti, tetapi apakah dana itu mendikte apa hasil pekerjaan kita tidaklah, tidak boleh. Saya terbuka dan jujur dianggap tidak punya nilai di negeri ini, jujur itu susah, dianggapnya naïf," jelas Syaiful.

Setali tiga uang. Direktur Eksekutif Puskaptis Husin Yazid membantah tudingan lembaganya menghalalkan manipulasi data responden untuk kepentingan pemesan. "Biasa yang dikenakan kepada calon berarti sekitar Rp 400 juta? Kalau biaya survei sih kecil, biaya pemenangan itu yang tinggi, saya pernah memprediksi kira-kira di bulan Januari – Juni itu membutuhkan dana Rp 300 miliar untuk calon DKI. Untuk lembaga survei mana pun pertama dia harus independen, dia harus jujur, kenapa independen, dia harus jujur dan tidak berpihak. Ketiga, lembaga survei harus menerapkan metodologi yang benar kenapa yang namanya survei metodologinya sama, satu yang membuat survei itu berbeda, kejujuran, kalau sudah tidak jujur ya namanya angka kan bisa dimainkan," tegasnya.
...........
[Lanjut kebawah]
http://www.kbr68h.com/saga/77-saga/2...di-pilkada-dki

--------------

Metode penelitian yang umum dipakai oleh Lembaga Survei Politik semenjak ramainya zaman Pilkada dan Pilpres, adalah metode sederhana tapi canggih. Metode itu dikenal dengan sebutan "metode wani piro" ... :D

:ngakak
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...