300 Sekolah Perguruan Tamansiswa Mati Suri

Tiga ratus sekolah milik Perguruan Tamansiswa mati suri, karena kekurangan dana. Perguruan yang dirintis Ki Hadjar Dewantara pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta itu, tinggal 30 persen yang masih layak beroperasi.

"Perguruan Tamansiswa kesulitan menghidupi dirinya, karena kekurangan murid," kata Wakil Ketua Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, Sunarno Hadiwijoyo, di sela-sela acara Sarasehan Tamansiswa Sekolah Plus Kebangsaan, Kerakyatan, Pekerti Luhur Rabu (2/5/2012) di Balai Pertemuan Taman Siswa, Jakarta Pusat.

Sarasehan diadakan untuk memperingati Hari Pendidikan Nasional. Perguruan yang ketika pertama kali didirikan bernama "National Onderwijs Institut Tamansiswa" itu, merupakan simbol kebangkitan bangsa Indonesia.

Perguruan didirikan Ki Hadjar Dewantara, dengan tujuan mendidik bangsa Indonesia. Ia meyakini,hanya dengan pendidikan bangsa ini bisa lepas dari penjajahan.

Sunarno mengatakan, beberapa sekolah milik Tamansiswa bahkan sudah benar-benar tutup, karena tidak ada murid, seperti Sekolah Dasar milik Perguruan Tamansiswa di Desa Leles, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Kondisi serupa dialami sekolah Perguruan Tamansiswa di Curup, Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu.

Selain kekurangan siswa, kondisi fasilitas gedung sekolah milik Tamansiswa juga belum bisa ditingkatkan kualitasnya. Sunarno mengatakan, di beberapa daerah sekolah Tamansiswa masih berdinding bambu dan berlantaikan tanah.

Perguruan Tamansiswa memiliki 130 cabang yang tersebar di berbagai daerah. Perguruan ini memiliki sekolah mulai dari tingkat TK, SD, SMP, SMA/SMK dan Perguruan Tinggi.

Dalam kurikulumnya, Perguruan Tamansiswa lebih menekankan pada aspek mendidik siswa agar memiliki budi pekerti luhur, menganut asas kerakyatan, dan menjunjung tinggi rasa kebangsaan.

Jumlah murid yang belajar di seluruh Perguruan Tamansiswa sampai saat ini sekitar 50.000 orang. Pada tahun 2001, jumlah siswa masih sekitar 85.000 orang.

Menurut Sunarno, Tamansiswa mulai ditinggalkan siswa ketika orangtua lebih melirik sekolah-sekolah yang mengedepankan kurikulum agama. Selain itu, keberadaan sekolah negeri yang gratis juga membuat orangtua tidak lagi berminat menyekolahkan anaknya di Tamansiswa.

"Hampir 40 persen murid di Tamansiswa berasal dari golongan tidak mampu," kata Sunarno.

Meskipun kondisinya makin kritis, masih banyak guru yang mencoba mempertahankan keberadaan Perguruan Tamansiswa.

Sri Edi Swasono yang sekarang menjadi Ketua Umum Majelis Luhur Tamansiswa, mengatakan, pengabdian para guru di Tamansiswa patut diacungi jempol.

"Gaji guru di Perguruan Tamansiswa tidak besar, namun mereka tetap bertahan demi menularkan prinsip yang diajarkan Ki Hadjar Dewantara kepada murid," kata Edi Swasono.

Ia menggambarkan gaji guru di sebuah sekolah Tamansiswa yang hanya Rp 10.000 per hari dengan jumlah jam mengajar 4 jam per hari. Dalam satu bulan, guru tersebut hanya mendapatkan Rp 250.000 per bulan.

"Jumlah itu jauh lebih kecil dari gaji pembantu rumah tangga," kata Edi Swasono.

Edi yang menjadi penasihat Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, berupaya untuk mengangkat kembali Tamansiswa agar mampu bersaing dengan sekolah lain.

Menurut Edi, pemerintah seharusnya lebih mengembangkan sekolah berbasis lokal seperti Tamansiswa, bukan malah mengubah sekolah-sekolah di Indonesia dengan kurikulum Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI).

Tantangan yang dihadapi Tamansiswa sekarang adalah mengenalkan kembali sekolah tersebut kepada masyarakat. Nama Tamansiswa kini semakin surut di tengah maraknya beragam sekolah swasta berkualitas dan sekolah asing, yang masuk ke Indonesia.

Caranya adalah dengan beradaptasi sesuai perkembangan zaman, tanpa meninggalkan ideolog untuk mendidik semua anak bangsa. "Orang-orang Tamansiswa sekarang harus mulai sadar lingkungan, bergaul dengan lingkungannya kembali agar dikenal masyarakat," kata Edi.


Link


Quote:

Salah satu akibat komersialisasi pendidikan.

ujangdayat 03 May, 2012

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...