MK Dukung Gugatan Grasi untuk Corby

JAKARTA- Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar menegaskan bahwa grasi untuk terpidana narkotika asal Australia, Schapelle Leigh Corby, bisa digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara. Akil, yang juga juru bicara MK, mengatakan, Corby tidak layak mendapatkan grasi.

Dia menceritakan pengalamannya terkait Corby. Ketika itu, Akil masih menjadi Wakil Ketua Komisi III DPR. Bersama anggota Komisi III lain, dia melakukan kunjungan ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kerobokan Denpasar. Dalam kunjungan tersebut, Corby enggan menemui anggota Dewan. "Tanpa alasan jelas, Corby enggan bertemu kami," kata Akil di Jakarta, Rabu (30/5).

Selain tidak menghargai, tandasnya, Corby juga mendapatkan fasilitas khusus selama berada di rumah tahanan.

Terpidana 20 tahun penjara itupun bersikap acuh kepada sesama tahanan. Karena itu, lanjut Akil, Corby semestinya tidak berhak mendapatkan grasi. Menurut dia, grasi hanya layak diberikan jika seorang terpidana berkelakuan baik.

"Corby tidak menghargai hukum Indonesia," tegasnya.

Akil juga menyayangkan inkonsistensi pemerintah dalam menangani kejahatan luar biasa dan transnasional. Dia menegaskan, remisi dan grasi tidak layak diberikan kepada para pelaku kejahatan lintas negara. Akil juga tidak sepakat dengan alasan pemerintah dalam mengeluarkan grasi, yakni untuk perlindungan WNI di luar negeri. Menurut dia, tidak ada kaitan antara pemberian grasi kepada Corby dengan perlindungan WNI di luar negeri.

"Itu bisa diselesaikan dengan diplomasi tanpa harus memberikan grasi," ujar Akil.

Sementara itu, Gerakan Nasional Anti Madat (Granat) memastikan akan menggugat keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait grasi Corby ke PTUN Jakarta.

Gugatan akan didaftarkan pekan depan oleh tim kuasa hukum Granat setelah melakukan pendalaman terhadap aspek-aspek hukum, politik, dan sosial dari grasi Corby. Kuasa hukum Granat Yusril Ihza Mahendra menjelaskan, pemberian grasi itu tidak layak dan menunjukkan ketidakbijakkan SBY sebagai kepala negara. "Yang diberi grasi oleh SBY adalah narapidana narkotika," tegasnya di Jakarta, Rabu (30/5).

Granat, yang diketuai Henry Yosodiningrat, sepakat menunjuk Yusril Ihza Mahendra menjadi koordinator tim kuasa hukum. Tim ini beranggotakan Maqdir Ismail, Ruhut Pangaribuan, dan SF Marbun.

Rapat pembentukan tim dihadiri sejumlah praktisi hukum kawakan, yakni Adnan Buyung Nasution, Fahmi Idris, Komjen (Purn) Togar Sianipar, Komjen (Purn) Ahwil Lutan dan pakar hukum internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana.

Pertimbangan MA

Yusril dan para peserta rapat heran Presiden SBY memberikan grasi kepada Corby di tengah-tengah makin maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

Terpisah, Mahkamah Agung (MA) mengakui sudah sejak tahun 2010 memberikan pertimbangan grasi untuk Corby.

Ketua MA Hatta Ali menyatakan, presiden memang baru-baru ini memberikan grasi untuk Corby, namun pendapat hukum dari MA sudah lama diberikan.

"Keppresnya baru turun bulan ini. Jadi hampir dua tahun sejak usulan dari Mahkamah Agung," papar Hatta usai melantik Timur Manurung sebagai Ketua Muda Pengawasan Mahkamah Agung di Gedung MA, Jalan Medan Merdeka, Jakarta, Rabu (30/5).

Corby divonis 20 tahun penjara dan denda Rp 100 juta karena tertangkap membawa 4,2 kilogram mariyuana di Bandara Ngurah Rai pada 8 Oktober 2004.

Berdasarkan hitung-hitungan sisa hukuman, pengajuan pembebasan bersyarat bisa dilakukan Corby pada 3 September 2012.

Ali menambahkan, posisi MA dalam pemberian grasi bersifat pasif. Pertimbangan MA bisa dipakai oleh presiden atau "dibuang ke dalam tong sampah". Hak prerogatif ini sesuai Pasal 14 UUD 1945 yang berbunyi presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.

"Kami sudah memberikan pendapat hukum. Masalah diterima atau ditolak adalah kewenangan presiden," tandas Hatta Ali.

Wakil Ketua Komisi III DPR, Nasir Djamil, mengungkapkan bahwa pihaknya akan mendengarkan terlebih dahulu penjelasan dari Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin terkait pemberian grasi Corby, sebelum memutuskan perlu atau tidaknya menggunakan hak interpelasi.

Menurut Nasir, dalam waktu dekat Komisi III akan mengagendakan rapat kerja dengan Menkumham dan rapat konsultasi dengan Mahkamah Agung. Jika dari dua rapat tersebut Menkumham dan MA dapat menjelaskan pertimbangan hukum pemberian grasi Corby, maka penggunaan hak interpelasi mungkin tidak diperlukan.

''Tapi karena ini (hak interpelasi-red) merupakan hak masing-masing anggota, pimpinan komisi tidak bisa melarang jika tetap digunakan,'' ujar Nasir di Gedung DPR, Jakarta.

Wakil Ketua Komisi III dari FPAN, Tjatur Sapto Edy, juga menyayangkan kurangnya penjelasan dari pemerintah terkait alasan pemberian grasi kepada Corby. Meskipun disebut demi kemanusiaan dan keadilan, dia menyayangkan tidak ada keterbukaan dari pemerintah. Apalagi ada isu jika latar belakang pemberian grasi tersebut adalah barter tahanan dan agar Australia tidak mengusik kondisi Papua.

''Kita sebagai bangsa harus yakin kedaulatan segala-galanya dan kita sedang gencar memberantas narkoba. Kalau ada kepentingan negara yang lebih luas, harus dijelaskan,'' tandasnya.

Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa menegaskan kembali bahwa tidak ada kesepakatan tertentu antara Pemerintah RI dan Pemerintah Australia terkait pemberian grasi kepada Corby. Menlu menyatakan, pemberian grasi itu bukan karena kesepakatan tertentu atau timbal balik (barter). ''Ini murni dari aspek pertimbangan hukum dan tidak ada deal tertentu,'' imbuhnya. (D3,J22,H28-43)

ayo siapa lagi yang mau dukung ? bah... nanti ada yang sewot
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...