Survei Pilkada DKI Rawan Manipulasi Politik

Hasil survei dipublikasikan terus menerus demi membentuk opini, ungkap kalangan pengamat.

VIVAnews - Jelang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) DKI Jakarta pada 11 Juli 2012, sejumlah lembaga survei berlomba-lomba mempublikasikan hasil polling calon gubernur dan wakil gubernur yang populer di mata masyarakat.
Beberapa hasil survei ini satu sama lain bertolak belakang dengan angka persentase yang berbeda. Hasil survei dipublikasikan secara terus menerus oleh media, sehingga membentuk opini di tengah masyarakat.

Peneliti dari Political Research Institute for Democracy (PRIDe) Indonesia, Agus Herta, mengatakan survei merupakan salah satu elemen yang paling rawan untuk dimanipulasi dalam politik yang seolah-olah dianggap sebagai hal yang valid.
Secara generik survei bisa saja valid, namun karena kepentingan-kepentingan tertentu bisa tidak valid karena tergantung siapa yang mendanai survei tersebut.

"Ada beberapa faktor yang mempengaruhi ketidakvalidan hasil survei. Salah satunya, kesalahan dalam kuisioner, bisa mempengaruhi hasil survei, karena ini berhubungan langsung dengan responden," ujar Agus dalam diskusi publik "Carut Marut Hasil Survei di DKI Jakarta" di Jakarta 29 Mei 2012.

Kesalahan pada kuisioner, menurut Agus, disebabkan beberapa hal seperti adanya pertanyaan-pertanyaan yang sengaja mengarahkan agar responden menjawab jawaban tertentu. Kemudian, ada singkatan atau pertanyaan yang ambigu sehingga membuat responden bingung dan salah menjawab. "Belum lagi dengan adanya pertanyaan-pertanyaan di luar kemampuan responden," katanya.

Menurutnya beberapa hasil survei cagub dan cawagub DKI patut dipertanyakan, terutama terkait pengambilan jumlah sampel yang terlampau sedikit jika dibanding jumlah warga DKI yang memiliki hak pilih.

"Yang paling bagus kita men-list semua DPT, 7 juta nama, kocok siapa yang keluar, itu yang jadi sampel," tuturnya.
Bentuk Opini
Peneliti senior dari The Jakarta Institute, Ubaidillah, menambahkan survei dilakukan untuk menilai kerja politik kandidat. Namun survei seringkali hanya untuk membentuk opini publik.

"Yang banyak dipublikasikan oleh surveyor menggunakan multi stage random sampling, tapi margin errornya berbeda. Banyak surveyor yang kadang capek akhirnya tidak mengikuti kaidah sample yang benar akhirnya terjadi error sampling, nah ini jarang dipublikasikan lembaga survei, hanya margin error saja," ucap dia.

Menurut Ubaidillah, survei yang baik harusnya melalui quality control agar terbukti apakah datanya benar atau tidak. Dia menyontohkan, dari sampel 500 responden, setelah cleaning data jadi hilang 50 sampel. Nantinya, kata dia, margin errornya akan berbeda hasilnya, dan kebanyakan lembaga survei tidak banyak yang berani menunjukkan itu.

"Akurasi sangat dibutuhkan. Artinya semakin sedikit margin error yang ada dalam survei itu, semakin akurat. Sebaiknya, jangan melakukan survei dengan sampel di bawah 1000 responden," ujarnya.

http://metro.vivanews.com/news/read/...pulasi-politik
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...