Polemik Status Kelembagaan Greenpeace di Indonesia

Akhir-akhir ini banyak sekali pemberitaan di media massa terkait dengan polemik mengenai status hukum dan keberadaan Greenpeace di Indonesia.

Hal ini menimbulkan sejumlah penafsiran dalam sistem hukum Indonesia tentang bentuk hukum dari kelembagaan Greenpeace itu sendiri. Sejumlah kalangan termasuk beberapa pejabat dari lingkungan pemerintahan beranggapan bahwa Greenpeace bukanlah organisasi kemasyarakatan (ormas) melainkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) asing.

Namun, banyak kalangan masyarakat juga beranggapan bahwa Greenpeace merupakan organisasi kemasyarakatan sehingga harus memenuhi kewajiban yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Polemik mengenai status hukum dan keberadaan Greenpeace di Indonesia semakin diperparah dengan tulisan-tulisan di media massa yang memberikan nomenklatur atau penyebutan Greenpeace sebagai suatu organisasi internasional.

Bagaimana sebenarnya pengaturannya dalam sistem hukum internasional dan siste m hukum di Indonesia?

Greenpeace dan Organisasi Internasional

Organisasi internasional selama ini telah dikenal sebagai salah satu subjek hukum internasional. Secara umum, organisasi internasional dapat dibagi menjadi dua, yaitu : 1) organisasi internasional publik; 2) organisasi internasional privat.

Dalam pandangan masyarakat hukum internasional saat ini, organisasi internasional hanya dikenal dalam bentuk organisasi internasional publik.

Organisasi internasional publik biasanya memiliki karakteristik sebagai intergovernmental organization yang terdiri dari negara-negara (wakil-wakil negara yg ditunjuk) yang menjadi anggotanya dan memiliki charter sebagai legally based institution.

Sejalan dengan perkembangan dalam hubungan internasional, organisasi internasional privat semakin mendapat ruang dalam forum-forum intenasional untuk turut berkontribusi dalam menyuarakan pendapat terhadap suatu kebijakan.

Namun, dalam forum-forum internasional yang dihadiri oleh organisasi internasional privat tersebut, delegasinya tidak memiliki hak suara karena dipandang bukan perwakilan negara (non-governmental organization) dan memang tidak diakui sebagai subjek hukum internasional.

Berdasarkan hal-hal tersebut, serta melihat karakteristik dari Greenpeace sebagai non-governmental organization dan tidak memiliki charter layaknya organisasi internasional pada umumnya, maka pada prinsipnya, Greenpeace secara hukum internasional tidak dapat dikatakan sebagai organisasi internasional.

Legal Entity (Entitas Hukum), Legal Capacity, dan Legal Responsibility Greenpeace

Secara kelembagaan, Greenpeace memang bukan termasuk organisasi kemasyarakatan tapi lebih kepada bentuk hukum sebuah perkumpulan. Hal ini dapat dilihat dengan terdaftarnya Greenpeace di Kementerian Hukum dan HAM sebagai suatu perkumpulan.

Greenpeace dalam hal ini terdaftar di bagian perkumpulan, yang didaftarkan atas nama Istiaty Aisyah Soepono di Jakarta dengan nama Perkumpulan Greenpeace Sea Indonesia Chapter, Nomor SKI AHU-128.AH.01.06 pada tanggal 4 Desember 2009.

Dasar hukum bahwa perkumpulan sebagai organisasi nirlaba yang berbadan hukum memang diatur dalam Buku III Bab IX KUH Perdata Pasal 1653-1665 dan Staatsblad 1870-64 tentang Rechtspersoon lijkheid van vereenigingen. Namun, dasar hukum tersebut belum secara tegas menjelaskan mengenai hak dan kewajiban suatu perkumpulan dalam sistem hukum Indonesia.

Perkembangan terakhir mengenai hal ini, Pemerintah sedang menyiapkan Rancangan Undang-Undang tentang Perkumpulan yang nantinya akan memberikan dasar hukum secara lebih jelas dan certain terhadap keberadaan perkumpulan tersebut di dalam sistem hukum di Indonesia.

Menurut hemat penulis, Greenpeace dapat dikatakan sebagai suatu perkumpulan perdata. Secara hukum, sebagai suatu perkumpulan perdata, Greenpeace hanya boleh melakukan perbuatan hukum dalam bidang hukum perdata (lingkup harta kekayaan) saja.

Hal ini dikarenakan pendaftarannya di Kementerian Hukum dan HAM dilakukan di dalam ruang lingkup hukum perdata dan terlebih lagi statusnya sebagai perkumpulan yang didasarkan pada KUHPerdata.

Dengan statusnya sebagai suatu perkumpulan perdata, tidak berlebihan jika tindakan-tindakan Greenpeace selama ini dalam mengkritisi kebijakan-kebijakan Pemerintah Republik Indonesia di bidang hukum publik dapat dikatakan berada di luar dari kapasitas hukumnya sebagai suatu perkumpulan perdata.

Dalam hukum perdata telah lama diakui bahwa suatu badan hukum (sebagai suatu subyek hukum mandiri atau persona standi in judicio) dapat melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatig handelen/tort).

Greenpeace sebagai badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia tentu tidak memiliki imunitas untuk lepas dari tuntutan dan proses hukum apabila melakukan perbuatan melawan hukum.

Sehingga, dengan kata lain Greenpeace dapat dimintai pertanggungjawaban secara perdata oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh tindakan-tindakan Greenpeace sebagai suatu badan hukum.

Greenpeace dan Previlege (Keistimewaan)


Dalam suatu kesempatan, di salah satu media massa, Kepala Perwakilan Greenpeace Indonesia, Nur Hidayati mengatakan bahwa sebagai organisasi swadaya masyarakat yang tidak melakukan usaha ekonomi, Greenpeace tidak memiliki keharusan untuk membayar pajak.

Greenpeace dikatakan hanya membayar pajak setiap tahun untuk gaji karyawan. Hal ini tentu saja tidak dapat dibenarkan mengingat status Greenpeace yang bukan merupakan organisasi internasional.

Pengecualian pajak (tax exemption) pada prinsipnya hanya diberikan kepada suatu organisasi internasional berdasarkan pada Host Country Agreement antara Negara Penerima dan organisasi internasional tersebut.

Host Country Agreement nantinya akan memuat suatu klausul mengenai fasilitas-fasilitas termasuk pengecualian pajak terhadap institusi dan personelnya yang diberikan untuk memudahkan organisasi internasional tersebut dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Menurut Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 215/PMK.03/2008 dinyatakan juga bahwa Organisasi-organisasi internasional yang tidak termasuk Subjek Pajak Penghasilan apabila memenuhi syarat sebagai berikut: 1) Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; dan 2) Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada Pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, tentunya dapat diketahui bahwa Indonesia bukan merupakan anggota dari Greenpeace sehingga menurut Peraturan Menteri Keuangan tersebut Greenpeace baik secara organisasi maupun individu-individu yang bekerja di dalamnya tidak akan mendapatkan fasilitas pengecualian dari pengenaan pajak badan dan pajak perorangan di Indonesia.

Pencabutan Penetapan

Status hukum yang diperoleh Greenpeace sebagai suatu perkumpulan diperoleh dengan adanya suatu penetapan (beshicking) dari Menteri Hukum dan HAM yaitu Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor SKI AHU-128.AH.01.06 pada tanggal 4 Desember 2009.

Penetapan tersebut didasarkan pada Staatblad 1870-64 yang dalam pasal 1 menyatakan: tidak ada badan hukum sebelum ada pengesahan/pengakuan dari Gubernur Jenderal atau pejabat yang ditunjuk (sekarang adalah Menteri Hukum dan HAM).

Menurut penulis, perbuatan yang dilakukan Menteri Hukum dan HAM sebagai pejabat publik untuk menetapkan Greenpeace sebagai suatu badan hukum tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan sepihak yang dilakukan Pejabat Tata Usaha Negara.

Sehingga Menteri Hukum dan HAM dapat secara sepihak mereview dan mencabut keputusan atau penetapan (beshicking) yang telah dikeluarkan sebelumnya apabila diperlukan.

Tentu saja, pencabutan penetapan tersebut harus mempunyai alasan yang kuat, berdasarkan alasan-alasan hukum yang jelas seperti demi kepentingan dan ketertiban umum (public order), serta disandarkan pada asas-asas umum pemerintahan yang baik.

DISEDOT DARI

sukroanget 05 Mar, 2012

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...