Presiden, Saya Mau Keadilan, Bukan Amplop 25 Juta

JAKARTA, KOMPAS.com - Indra Azwan (53), seorang pencari keadilan atas kasus tabrak lari yang menimpa anaknya, Rifki Andika (12), pada 1993 baru tiba di Jakarta, pada Minggu malam (18/3/2012). Lelah. Itu yang terlihat di wajah pria yang sering menyebut dirinya "Singo Edan" ini.

Kulitnya tampak gosong dan dengan rambut uban yang lepek karena keringat dalam perjalanannya berjalan kaki dari Malang hingga ke Jakarta. Tertatih-tatih, pria paruh baya ini berjalan memasuki aula kecil di Gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), di Menteng, Jakarta Pusat.

Sesekali ia meringis menahan sakit di kakinya, sambil berusaha duduk di atas sebuah papan di ruangan itu. Perlahan, Indra meletakkan tas ranselnya yang menemaninya selama 30 hari perjalanan. Di ransel berwarna hitam itu, terselip bendera merah putih yang senantiasa menemani perjalanannya.

Bendera itu sudah lusuh dan kotor. Tapi toh ia percaya bendera itu bagian dari keadilan yang harus diperjuangkan. Ada juga dua kain putih yang tak lagi putih dengan tulisan merah bertuliskan "Yth Presiden SBY, nyawa anakku harus dihargai. Saya tidak butuh amplop Rp 25 juta oleh istana. Saya tidak butuh janji oleh Kapolda Jatim Rp 2.500.000. Hanya satu harga mati. Akan saya kembalikan semuanya. Keadilan. Demi nyawa anakku. 18 tahun berjuang"

"Saya akan kembalikan uang 25 juta dari Presiden yang beliau titipkan melalui Kepala Bagian Rumah Tangga Istana. Saya tidak butuh uang itu," ujarnya sambil membuka sepatunya perlahan-lahan.

Wajah Indra terlihat menahan perih di kakinya. Tampak luka-luka di sekitar jemari kaki Indra telah bercampur dengan darah dan debu. Ia menolak diberikan obat luka di kakinya. Sambil meringis, ia menggosok kakinya dengan minyak tawon.

Luka itu, akibat perjalanannya dengan jalan kaki dengan rute Malang, Surabaya, Gresik, Lamongan, Bojonegoro, Cepu, Purwodadi, Semarang, hingga akhirnya tiba di Jakarta.

Sebelum bertutur tentang niatnya. Pria tua ini pun mengenang perjalanannya selama 30 hari berjalan kaki. Sekali-kali, ia bercanda, untuk melepas penat.

"Saya tidurnya, kalau capek ya di hotel. Hotel Kuda Laut. Tau kan? Itu lho, SPBU, kan gambarnya kuda laut. Kalau makan di tempat yang mesti berantem. Berantem sama lalat dulu," kata dia sambil tertawa.

"Saya kemarin diajakin makan sama kru TV yang meliput di tempat makan. Saya tolak. Lah saya enggak cocok makan di tempat mewah begitu. Cocoknya di warteg, yang ada sayur asemnya," sambung Indra.

Menurut Indra, kadang sejumlah warung yang ditemuinya tidak ingin Indra membayar makanan yang dimakannya. Ia hanya tersenyum dan mengucapkan terimakasih untuk kebaikan hati orang-orang itu. Dalam perjalanannya, Indra paling lama beristirahat selama satu jam.

Waktu itu ia habiskan untuk menghisap sebatang rokok kretek dan segelas kopi. Satu tempat yang tidak ingin ia singgahi dalam perjalanannya adalah kantor polisi.

"Sudah banyak polisi yang nawarin saya kalau mau istirahat bisa di pos mereka. Saya tolak. Saya enggak mau. Saya enggak percaya lagi sama polisi," tegasnya.

Sambil mengeluarkan isi tasnya, Indra mengatakan ia hanya membawa empat baju hitam bergambar Singa dan tiga celana pendek serta bekal minum seadanya. Dua bungkus rokok kretek dibawa menemani langkahnya menuju Ibu Kota.

"Saya kasih Presiden waktu paling lambat sampai hari Rabu minggu depan. Kalau tidak tanggung akibatnya sendiri," kata Indra dengan wajah datar.

Akibat apakah yang harus ditanggung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono jika tak menerima kehadiran Indra? "Ya beliau akan diketahui oleh dunia internasional, bahwa seorang presiden pun mengenal amplop untuk menyelesaikan masalah. Saya masih simpan slip-slip asli yang waktu diberikan pada saya," kata Indra.

Jika, tujuannya untuk mendapatkan keadilan bagi putera terkasihnya tak terpenuhi, Indra bersiap pergi ke Mekkah. "Kalo tidak dipenuhi tuntutannya Saya akan mengadu, pengaduan terakhir saya akan ke Mekkah dari Jakarta," ujar Indra.

Sambil duduk menghela dan menghembuskan napas beberapa kali membuang lelah, Indra menyatakan ini ia lakukan demi penantian keadilan untuk anaknya selama 19 tahun.

Sambil membetulkan topi biru bertuliskan Arema yang sering dipakainya, Indra menyatakan istri dan keluarganya mendukungnya demi mendapatkan keadilan.

"Istri saya tahu sampai dimana kemampuan saya. Dia justru tertawa melihat saya. Dia mendukung saya untuk melakukan ini. Ini demi putra saya," pungkas Indra.

Sebelumnya diberitakan pada tahun 2010, Indra mendapat uang senilai Rp 25 juta dari pihak Kepala Rumah Tangga Istana terkait kematian putranya. Indra menerima uang itu setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat menjanjikan bantuan untuk membongkar kembali kasus kecelakaan anaknya.

Hingga kini, pelaku tabrak lari, Komisaris Polisi Joko Sumatri, melenggang bebas. Presiden, ketika bertemu Indra pada 2010, berjanji menginstruksikan aparat penegak hukum untuk menuntaskan kasus tersebut.

Saat itu, Presiden didampingi Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar, dan Sekretaris Satgas Pemberantasan Mafia Hukum Denny Indrayana.

Namun hingga kini, janji Presiden tinggalah janji belaka. Penuntasan kasus tersebut tak kunjung selesai.

http://nasional.kompas.com/read/2012...Amplop.25.Juta

keygenok 19 Mar, 2012

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...